Rumbia, Infobombana.id – Suasana panas menyelimuti Musyawarah Adat Rumpun Keluarga Besar Kerajaan Moronene Keuwia, yang berlangsung di salah satu hotel di Kecamatan Rumbia, Ibukota Kabupaten Bombana, Minggu (18/5/2025).
Agenda yang sejatinya bertujuan mempererat silaturahmi adat tersebut, justru berubah menjadi panggung perlawanan terhadap praktik jual-beli tanah ulayat yang kian marak terjadi di Kecamatan Rarowatu Utara.
Dihadiri para sesepuh adat, Mokole penyanggah dan tokoh-tokoh penting keluarga besar Keuwia, forum tersebut berkembang menjadi ajang penyampaian keresahan kolektif. Dalam dialog yang berlangsung hangat dan tegang, mereka menyuarakan kekhawatiran atas semakin meluasnya praktik pengalihan tanah ulayat secara sepihak. Praktik yang dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap warisan leluhur Moronene.
Isu paling krusial mencuat ketika sejumlah tokoh adat menyatakan mosi tidak percaya terhadap Pauno Rumbia ke-VII, dituding atas “dugaan” melakukan pelanggaran serius terhadap tatanan adat, termasuk menjual dan menghibahkan tanah ulayat secara diam-diam untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
“Ini bukan hanya soal tanah, ini soal harga diri, tanah ulayat yang ada di Rarowatu Utara adalah tanah leluhur kami, ” tegas salah satu tokoh adat dalam forum tersebut.
Pernyataan itu diamini para Mokole dan perwakilan keluarga besar Kerajaan Moronene Rumbia yang menganggap tindakan sang Pauno telah mencederai nilai-nilai luhur adat. Sejumlah bukti pun dibuka di hadapan forum, mulai dari surat keputusan Kerajaan Rumbia Pusat Taubonto periode 2013–2017, hingga rekaman suara yang menguatkan dugaan keterlibatan Pauno dalam transaksi tanah di kawasan SP 9.
Tak hanya itu, forum juga menyinggung beredarnya surat keterangan tanah yang dianggap palsu, serta minimnya perhatian sang Pauno terhadap pelestarian budaya Moronene.
Yang paling menuai kecaman adalah klaim sepihak Pauno Rumbia VII yang menyatakan bahwa seluruh legalitas tanah ulayat eks Keuwia berada di bawah kendalinya. Pernyataan itu dinilai sangat berbahaya dan berpotensi memicu konflik horizontal antarmasyarakat.
“Yang dijual adalah hutan produksi, tanah legal yang ketika dijual memiliki konsekuensi hukum, dan dijual ke investor semaunya dengan mengatasnamakan kerajaan,” geram seorang peserta musyawarah dengan nada prihatin.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan, terutama di wilayah Rarowatu Utara, yang disebut sebagai titik rawan akibat tumpang tindih klaim kepemilikan tanah ulayat. Musyawarah adat pun secara bulat menyerukan perlunya gerakan penyelamatan tanah ulayat demi melindungi identitas dan eksistensi masyarakat adat Moronene.
Dalam forum musyawarah adat tersebut, para peserta menginginkan adanya pergantian Pauno Rumbia VII, bahkan meminta untuk dilengser dari jabatannya.
Musyawarah Keuwia kali ini menjadi peringatan keras bahwa tanah dan budaya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ketika tanah dijual, budaya ikut terkubur. Dan kini, suara leluhur kembali menggema dari jantung Bombana, seperti sebuah pepatah kuno mengatakan “Jangan gadaikan warisan demi kepentingan pribadi.”
Hingga berita ini ditayangkan, musyawarah masih berlangsung dan belum ada pihak raja Rumbia atau Pauno Rumbia VII yang hadir memberikan tanggapan di pertemuan tersebut.