BirokrasiPolitikSosialWisata

Tokoh Moronene Kabaena Tegaskan Motif Rapa Dara Warisan Budaya, Bukan Sekadar Ornamen

97
×

Tokoh Moronene Kabaena Tegaskan Motif Rapa Dara Warisan Budaya, Bukan Sekadar Ornamen

Sebarkan artikel ini

 

Rumbia, Infobombana.id – Gelombang diskursus tentang motif Rapa Dara yang beberapa pekan terakhir mencuat di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, memantik respons serius dari kalangan budayawan Moronene asal Pulau Kabaena. Mereka menilai, polemik yang berkembang di ruang publik telah mengaburkan makna filosofis dan nilai kearifan lokal yang terkandung dalam motif tersebut.

Melalui Pernyataan Sikap yang dibacakan di Rumbia, Kamis (15/10/2025), puluhan tokoh masyarakat, budayawan, dan intelektual muda Moronene Kabaena menegaskan bahwa motif Rapa Dara bukan sekadar corak estetika, melainkan simbol identitas dan sejarah panjang masyarakat Kabaena yang berakar pada tradisi Moronene.

“Motif Rapa Dara adalah simbol yang sarat makna, layak dikembangkan dan dilestarikan sebagai karya budaya kontemporer yang mencerminkan nilai luhur kearifan lokal masyarakat Moronene Pulau Kabaena,” demikian pernyataan mereka.

Pernyataan yang ditandatangani 31 tokoh Moronene Kabaena itu menyebutkan bahwa Rapa Dara telah memiliki legalitas hukum berupa Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan diakui oleh negara sebagai bagian dari warisan budaya daerah. Mereka menilai, keberadaan motif tersebut sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Filosofi Kuda dan Tanda Kehidupan

Menurut para penyintas budaya, Rapa Dara berakar dari simbolisme kuda,, sebagai hewan yang dalam masyarakat Kabaena kuno dipercaya memiliki kekuatan spiritual dan menjadi penanda peristiwa besar.

“Bagi masyarakat Moronene di Pulau Kabaena, kuda adalah lambang ketangguhan dan kesetiaan. Dalam kepercayaan lama, kuda juga dianggap sebagai titisan dewa pembawa berkah,” ujar Drs. Mohamad Subur, M.Si, salah satu penandatangan pernyataan yang juga Ketua Kerukunan Keluarga Besar Kabaena (KKBK) Rumbia.

Filosofi itu, lanjutnya, tidak hanya terekam dalam cerita rakyat, tetapi juga dalam corak dan warna yang melekat pada kain dan tenunan Rapa Dara. Corak ini mencerminkan harmoni antara kekuatan dan kelembutan, keberanian dan kesetiaan, sebagaimana prinsip hidup orang Moronene yang dikenal dengan falsafah “Mekalolaro” – hidup rukun, saling menghormati, dan bergotong royong.

Ajakan untuk Bijak Menyikapi Polemik

Dalam pernyataan tersebut, para tokoh meminta Pemerintah Kabupaten dan DPRD Bombana untuk lebih bijak dalam menyikapi polemik seputar motif Rapa Dara. Mereka mengingatkan bahwa setiap bentuk larangan terhadap penggunaan motif ini dalam aktivitas sosial dan budaya dapat menimbulkan luka sosial dan memecah persaudaraan di antara sesama masyarakat Moronene.

“Kami menyesalkan tindakan sekelompok orang yang melarang penggunaan pakaian bermotif Rapa Dara. Itu mencederai prinsip dan falsafah hidup adat Moronene sendiri,” bunyi poin kelima dalam pernyataan sikap itu.

Para tokoh mengingatkan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai Meka to Towaani (saling menghargai), Meka ma Masiako (saling menyayangi), Mekasuu Suungi (saling membantu), dan Mekauda Udaniako (saling mengingatkan). Empat prinsip itu menjadi inti moral masyarakat Moronene sejak masa leluhur.

Sejalan dengan Arah Kebijakan Budaya Daerah

Pernyataan sikap itu juga menegaskan dukungan terhadap visi Pemerintah Kabupaten Bombana yang tengah mendorong penguatan identitas daerah berbasis budaya lokal. Mereka menilai, pengembangan motif Rapa Dara sejalan dengan semangat pemerintah dalam menumbuhkan ekonomi kreatif berbasis budaya.

“Motif Rapa Dara telah diakui secara hukum dan menjadi bagian dari kekayaan budaya daerah. Pemerintah wajib melindungi dan mengembangkannya sebagaimana amanat UU Pemajuan Kebudayaan,” tegas Drs. Abd. Rahman, M.Si, salah satu birokrat sekaligus sejarawan Moronene.

Seruan Persatuan: “Kabaena Juga Moronene”

Sebagai penutup, para tokoh menegaskan komitmen untuk menjaga persatuan sesama masyarakat Moronene di seluruh wilayah Bombana.

“Leumo to wangusako wonua kisa inyaa iy cita inaipo, penda kisainyaa dikana-kana impiapo penda, Kabaena juga Moronene,” demikian kutipan penutup yang mereka bacakan dengan lantang.

Mereka berharap pernyataan ini menjadi penyejuk di tengah gesekan sosial yang mulai terasa, sekaligus menjadi landasan moral bagi seluruh pihak untuk memandang motif Rapa Dara bukan sebagai sumber perpecahan, melainkan jembatan kultural yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakat Moronene Bombana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *