Rumbia, Infobombana.id – Keretakan serius mengguncang internal Kerajaan Moronene Rumbia. Status Alfian Pimpie sebagai Pauno Rumbia ke-VII resmi dicabut oleh Rumpun Keluarga Besar Moronene Keuwia, setelah dua kali mangkir dari musyawarah adat yang digelar di Rumah Adat Rahampu’u, Taubonto, Kecamatan Rarowatu, Minggu (1/6/2025).
Keputusan dramatis itu tak datang tiba-tiba. Hal ini merupakan klimaks dari rangkaian tudingan pelanggaran adat, pengkhianatan nilai budaya, hingga keterlibatan dalam dugaan jual beli tanah eks-ulayat di wilayah adat Moronene.
“Ini soal martabat kerajaan. Kami tidak bisa diam melihat hak-hak masyarakat diinjak atas nama gelar,” tegas Muh. Mardhan, MA, Inisiator musyawarah adat tersebut.
Dugaan Jual Tanah hingga Ketidakhadiran Beruntun
Dua musyawarah berturut, yakni pada 22 Mei dan 1 Juni 2025, menjadi ajang penggalian fakta dan akumulasi kekecewaan. Nama Alfian Pimpie disebut dalam sejumlah pelanggaran serius, mulai dari penerbitan surat tanah tanpa dasar adat, hingga bukti rekaman suara yang diduga kuat menunjukkan dirinya terlibat dalam transaksi jual-beli lahan di SP9, Rarowatu Utara.
Tak hanya itu, laporan polisi atas dugaan penipuan jual tanah turut menyeret nama sang raja. Ketidakhadiran Alfian dalam dua panggilan resmi musyawarah hanya mempertebal anggapan bahwa ia tak lagi layak menyandang mahkota adat.
“Gelar Pauno bukan sekadar simbol. Itu amanah. Jika disalahgunakan, rakyat berhak mencabutnya,” ujar Yunus N.L., Ketua Musyawarah Adat.
Desak Kesultanan Buton Cabut SK
Dalam keputusan tegas, musyawarah juga menyerukan pencabutan Surat Keputusan pengangkatan Alfian Pimpie sebagai Raja Rumbia ke-VII oleh Kesultanan Buton. Rumpun keluarga bahkan menyatakan penolakan penuh terhadap segala maklumat dan klaim Alfian yang mengatasnamakan Kerajaan Moronene Rumbia.
Langkah ini bukan sekedar simbolik, akan tetapi penegasan kuasa adat, bahwa kedaulatan tak lagi berpihak pada gelar semata, melainkan pada keberpihakan terhadap rakyat adat dan nilai-nilai luhur.
Musyawarah tersebut juga memutuskan pembentukan Dewan Adat Kerajaan Moronene Keuwia, lembaga transisi yang akan memimpin penataan ulang sistem adat, termasuk pemetaan wilayah ulayat dan proses pemilihan raja pengganti.
Kondisi ini menandai era baru dalam dinamika politik adat Bombana. Di mana rakyat adat mengambil kembali kendali atas warisan mereka, setelah merasa dikhianati oleh sosok yang mereka angkat sendiri.
“Kerajaan harus kembali jadi penjaga nilai, bukan instrumen kuasa pribadi. Ini bukan pemberontakan, tapi penyelamatan,” pungkas Mardhan di hadapan 17 utusan rumpun keluarga yang hadir.