Scroll untuk baca artikel
       
SosialBirokrasi

Kabaena di Persimpangan: Kilau Tambang dan Bayang-Bayang Derita

100
×

Kabaena di Persimpangan: Kilau Tambang dan Bayang-Bayang Derita

Sebarkan artikel ini
Ketgam: Foto penampakan Pulau Kabaena, tepat di wilayah udara Kecamatan Kabaena Selatan

Rumbia, infobombana.id Pulau Kabaena di Kabupaten Bombana, bagaikan sepotong surga yang kini berdiri di persimpangan jalan. Berbatasan dengan Laut Flores, Selat Muna, dan Teluk Bone, pulau ini tak hanya memancarkan pesona alamnya, tetapi menyimpan riak kegelisahan. Di tengah gemuruh alat berat dan iring-iringan truk pengangkut bijih tambang, terukir dilema yang tak kunjung reda dan menimbulkan pertanyaan, apakah kehadiran tambang menjadi gerbang menuju kesejahteraan, atau justru membuka pintu kehancuran yang perlahan merayap?

Di satu sisi, denyut ekonomi lokal kian terasa. Syahril, seorang pekerja tambang yang telah dua tahun berkutat dengan debu dan teriknya matahari, mengakui penghasilannya cukup untuk menopang keluarganya.

“Kalau tambang tutup, saya bingung mau kerja apa,” ujarnya lirih, tatapannya tertuju pada deretan ekskavator yang tak pernah lelah mengaduk perut bumi.

Geliat ekonomi pun menjalar hingga ke pasar tradisional Sikeli, Kecamatan Kabaena Barat. Nita (42), seorang penjual sayur dari Desa Baliara Selatan, mengisahkan bagaimana arus pekerja tambang membawa perubahan pada dagangannya.

“Dulu, penghasilan saya pas-pasan. Sekarang, dagangan lebih cepat habis,” katanya sembari merapikan sisa dagangannya yang kian menipis.

Namun, di balik kemilau ekonomi itu, bayang-bayang derita terus membayangi. Belum lama ini, amarah warga tumpah di depan kantor PT Timah Investasi Mineral (TIM). Desa Baliara menjadi saksi bisu betapa derasnya banjir yang menerjang, merendam rumah, sekolah, hingga fasilitas umum lainnya. Air bah tak datang sendiri, ia membawa lumpur merah, seolah menjadi tanda luka yang ditinggalkan aktivitas tambang.

Bukan hanya Baliara, Kabaena Timur pun tak luput dari ancaman. Hujan deras yang turun beberapa hari lalu memicu banjir, membanjiri pemukiman warga. Sementara itu, di Kabaena Selatan, gunung-gunung yang dahulu kokoh kini terkikis. Sungai yang dulu jernih, berubah keruh. Debu tambang melayang, membungkus lahan pertanian, membuat tanah kehilangan kesuburannya.

Ketgam: Banjir merendam rumah warga Desa Baliara, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana beberapa waktu lalu (FOTO ISTIMEWA)

Masyarakat Kabaena kini terpecah. Ada yang berharap tambang terus beroperasi demi roda ekonomi yang tetap berputar, namun tak sedikit yang mendesak evaluasi serius demi menjaga keseimbangan alam.

Pertanyaan besar pun mengemuka, adakah jalan tengah yang sanggup merangkul kebutuhan ekonomi tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan? Ataukah Kabaena harus pasrah hidup dalam bayang-bayang “emas hitam”, kekayaan yang berkilau, namun menyimpan luka di balik sinarnya?

Harapan kini tertumpu pada pemerintah dan pemangku kebijakan. Tak cukup hanya janji, warga menanti solusi konkret. Mereka mendesak adanya bantuan nyata bagi pekerja lokal jika tambang benar-benar dihentikan. Entah melalui dukungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), atau program ekonomi lainnya yang mampu menjaga dapur mereka tetap mengepul.

Di sisi lain, mereka juga meminta perhatian lebih untuk korban banjir. Tahun 2024-2025 menjadi periode penuh nestapa, terutama bagi warga Desa Baliara yang berkali-kali harus berjibaku dengan air bah setiap kali hujan turun.

Kabaena tak ingin sekadar menjadi catatan kaki dalam kisah eksploitasi alam. Pulau ini berharap menjadi bukti bahwa keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan bukanlah mimpi kosong. Kini, bola ada di tangan pemerintah, akankah mereka bertindak, atau hanya membiarkan Kabaena terus terjebak dalam persimpangan tak berujung?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!