Rumbia, Infobombana.id – Konflik kepemimpinan adat di Keuwia Meronene, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, memasuki fase kritis. Ketegangan memuncak setelah Mokole Rumbia ke-8, Mokole Aswar Latif, menggelar konferensi pers pada Selasa, 16 Juli 2025. Hal ini dilakukan guna merespons polemik penggunaan Rumah Adat Taubonto yang diklaim masih digunakan oleh Mokole sebelumnya yang telah diberhentikan secara adat.
“Pauno Rumbia ke-7 telah digantikan. Kesultanan Buton bahkan sudah mengeluarkan surat keputusan pencabutan keanggotaannya dari struktur adat. Namun hingga kini, yang bersangkutan masih mengklaim diri sebagai Mokole dan terus melakukan aktivitas adat di Rumah Adat Taubonto,” kata Mokole Rumbia ke-8 dalam pernyataan resminya.
Aswar menegaskan bahwa proses suksesi kepemimpinan telah berjalan sesuai mekanisme adat, termasuk dengan pengesahan dari Kesultanan Buton selaku otoritas tertinggi dalam struktur adat setempat. Ia menyebut tindakan Mokole sebelumnya sebagai bentuk pembangkangan yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
“Kami melihat ini sebagai upaya melegitimasi posisi yang secara adat sudah tidak sah. Bahkan, kegiatan yang digelar masih melibatkan unsur Forkopimda dari daerah dan provinsi,” ujarnya.
Pihaknya mengaku telah menempuh berbagai langkah persuasif dan administratif, termasuk menyurati pemerintah daerah, kepolisian, dan pemerintah provinsi, untuk mencegah benturan yang lebih besar di tengah masyarakat.
“Kami tidak menginginkan kegaduhan, tetapi jika kegiatan pada 19 Juli nanti tetap dilaksanakan di Taubonto dan menyebabkan kekacauan, maka kami nyatakan tidak bertanggung jawab. Kami sudah berupaya maksimal,” tegasnya.
Terkait status Rumah Adat Taubonto, Aswar menjelaskan bahwa meskipun bangunan itu sempat dihibahkan oleh pemerintah kepada Mokole sebelumnya, hak adat atas rumah tersebut kini berada di bawah kendali Mokole yang sah pasca pencabutan keputusan oleh Kesultanan Buton.
“Hibah tidak menghapus status adat. Setelah pencabutan keputusan oleh Kesultanan Buton, yang berhak menggunakan rumah adat itu adalah Mokole yang sah,” tandasnya.
Isu dualisme kepemimpinan adat juga menjadi sorotan. Aswar menyebut bahwa kondisi seperti ini belum pernah terjadi dalam sejarah Keuwia Meronene dan menduga ada pihak-pihak luar yang sengaja memicu instabilitas dengan memanfaatkan kepentingan sumber daya di wilayah adat tersebut.
“Di Keuwia Meronene tidak pernah ada dualisme kepemimpinan seperti ini. Ini hal baru, dan kami menduga ada pihak-pihak tertentu yang sengaja memicu instabilitas, mungkin karena kepentingan terhadap sumber daya alam wilayah ini,” ucapnya.
Meskipun membuka ruang kemungkinan membangun rumah adat baru di Desa Wumbubangka, kampung leluhurnya, Aswar menegaskan bahwa desakan masyarakat untuk mempertahankan marwah adat membuatnya harus bersikap tegas.
“Dorongan dari masyarakat sangat kuat untuk mempertahankan martabat dan kewibawaan adat,” katanya.
Sebagai bagian dari langkah resmi, Mokole Rumbia ke-8 melalui Lembaga Adat Moronene telah melayangkan surat terbuka agar Mokole sebelumnya tidak lagi menggunakan Rumah Adat Taubonto. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Bupati Bombana, DPRD, Kapolres, Dandim, hingga Gubernur Sultra.
Namun hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kabupaten Bombana belum mengeluarkan pernyataan resmi. “Kami mendengar bahwa Bupati tidak ingin terlibat dalam urusan adat. Kami hormati sikap itu, namun kami juga berharap tidak ada bentuk fasilitasi terhadap pihak yang sudah kehilangan legitimasi adatnya,” ujarnya.
Aswar mengakhiri konferensi pers dengan imbauan agar masyarakat tidak salah memahami persoalan ini dan mencegah konflik sebelum terjadi. “Klarifikasi ini kami sampaikan demi menjaga ketertiban, marwah adat, dan kedamaian masyarakat Keuwia Meronene,” pungkasnya.