Oleh: Hendrawan Rahmat Wijaya
Opini- Infobombana.id – Sejarah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Indonesia Timur tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari denyut politik nasional yang bergejolak, dari kampus ke kampus, dari pelabuhan ide hingga ruang-ruang sunyi yang jarang dicatat sejarah arus utama. Ketika Badan Koordinasi (Badko) HMI Indonesia Timur (Intim) terbentuk pada awal 1960-an, yakni mencakup Sulawesi, Maluku, dan Papua, ia menandai fase penting perluasan HMI dari pusat-pusat kekuasaan di Indonesia Barat menuju wilayah dengan kompleksitas sosial yang berbeda.
Sejak awal, HMI di timur tidak bisa dilepaskan dari politik. Ini bukan penyimpangan, melainkan fondasi historis. Maka, kader HMI yang terlibat dalam politik bukanlah anomali, apalagi penyakit. Ia justru konsisten dengan watak awal organisasi yang menjadikan keislaman dan keindonesiaan sebagai dua napas perjuangan yang tak terpisahkan.
Di Makassar, kisah awal HMI terpatri dalam cerita tentang perjuangan menghadirkan sebuah sekretariat. Negosiasi yang melelahkan, gangguan drum band di Jalan Botolempangan, hingga momen simbolik ketika Jusuf Kalla merobek surat kepemilikan sekretariat di hadapan kader-kadernya. Tindakan itu bukan perusakan, melainkan pernyataan ideologis: ruang perjuangan tidak boleh direduksi menjadi aset privat. Ia harus menjadi milik kolektif, hidup melampaui administrasi dan kepemilikan formal.
Dari Sulawesi, jejak HMI berlanjut ke Maluku. Di wilayah ini, HMI tumbuh dengan karakter kepemimpinan yang adaptif. Sosok Husni Hentihu, Ketua Umum pertama HMI Cabang Ambon (1976–1979), dikenang bukan sebagai orator lantang, melainkan penjaga keseimbangan. Di tengah iklim Orde Baru yang menekan, ia menjaga HMI tetap bernapas dan relevan, hingga kelak berkiprah sebagai Bupati Buru. Ini menunjukkan bagaimana kaderisasi HMI tidak berhenti di ruang diskusi, tetapi menjelma dalam praksis pemerintahan.
Papua menghadirkan kisah yang lebih sunyi, namun tak kalah penting. Upaya membukukan sejarah HMI di tanah Papua, yang jejaknya telah ada sejak 1965 di Sukarnopura (kini Jayapura), merupakan tindakan politis sekaligus pedagogis. Sejarah lokal itu kini menjadi materi wajib Latihan Kader, menegaskan bahwa HMI bukan hanya milik Yogyakarta atau Jawa, tetapi juga tumbuh dari tanah Papua dengan pengalaman dan tantangannya sendiri.
Pemekaran Badko demi Badko, dari Intim, Malirja, Malpamalut, Malmalut, Cendrawasih, hingga Badko Papua–Papua Barat dan kini Papua Barat–Papua Barat Daya, menunjukkan satu hal: antusiasme kader di Indonesia Timur tak pernah surut. Namun, pertumbuhan struktural ini juga menyisakan kegelisahan. Apakah ruh keislaman dan keindonesiaan yang dahulu menjadi fondasi masih terawat, atau justru tergerus oleh zaman digital yang kerap melahirkan praktik destruktif?
Tantangan HMI hari ini bukan lagi soal pendirian, melainkan perawatan. Bukan merebut ruang, tetapi memberi makna pada ruang yang telah ada. Di Indonesia Timur, perkaderan HMI perlu berdialog dengan kebudayaan lokal. Diperlukan metode kaderisasi yang kontekstual yang mencakup nilai-nilai Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang berwajah lokal, sebagaimana mazhab perkaderan telah berkembang di Ciputat, Bandung, dan Yogyakarta.
Menyusuri sejarah HMI di Indonesia Timur ibarat membaca catatan perjalanan yang belum selesai. Setiap fragmen dari Sulawesi, Maluku, dan Papua menyodorkan pertanyaan yang sama: bagaimana tetap setia pada cita-cita insan akademis dan pengabdi bernafaskan Islam di tengah tantangan yang terus berubah? Jawabannya mungkin tidak tunggal. Namun, justru dalam keberagaman respons itulah HMI terus mencari dan menemukan napas barunya.
–Penulis adalah Kader HMI Cabang Makassar Timur (Badko HMI Sulsel)














