OpiniBirokrasi

Mengulik Pencoptan Konstantinus Bukide Sebagai Sekretaris Daerah Buteng

34
×

Mengulik Pencoptan Konstantinus Bukide Sebagai Sekretaris Daerah Buteng

Sebarkan artikel ini


Oleh: La Ode Muhaimin

Opini – Pangkal perseteruan antara Bupati Buton Tengah Azhari dengan Konstantinus Bukide selaku Sekretaris Daerah berawal dari keputusan Azhari mencopot Bukide dari jabatannya. Pada saat yang sama, Azhari menunjuk Syarifuddin Pamone sebagai Pelaksana Harian (Plh) Sekda. Pencopotan Bukide pun menuai polemik dengan reaksi beragam, karena syarat administrasi perpanjangan masa menjabat Bukide telah terpenuhi. Konstelasi pemerintahan Buteng menjadi riuh dan getarannya masih berdenyut hingga hari ini.

Secara de facto Bukide bukan Sekda, secara de jure, ia adalah Sekda defenitif. Sebaliknya, Syamsuddin Pamone, secara de facto adalah Sekda sementara. Secara de jure, ia bukanlah Sekda sementara. Dua Sekda yang dalam pemerintahan Buteng yang masing-masing memiliki legitimasinya sendiri menarik untuk ditelaah menurut kaca mata hukum.
Masa Menjabat dan Masa Jabatan
Sebelum menguraikan pokok perkara pembebastugasan Bukide dari jabatan Sekda Buton Tengah, perlu diutarakan lebih dahulu perbedaan antara masa menjabat dengan masa jabatan. Pentingnya membedakan dua istilah ini supaya diperoleh pemahaman yang utuh dan setidaknya dapat membantu menjawab kekisruhan yang terjadi antara Azhari selaku Bupati Buteng di satu pihak dan Bukide sebagai Sekda di pihak lain.

Masa menjabat adalah waktu yang diberikan kepada pemangku jabatan untuk melaksanakan fungsi jabatan dengan waktu menjabat yang bersifat tidak tetap. Maksudnya adalah, sang pemangku jabatan dapat diganti di tengah masa jabatan meskipun belum mencapai masa menjabatanya (misalnya 5 tahun) berdasar hasil evaluasi kinerja atau hasil penilaian lainnya yang sejenis atau karena berhenti (mis: meninggal dunia, sakit permanen, mengundurkan diri) atau karena diberhentikan (mis: menjadi Tersangka/Terpidana). Pejabat yang memangku jabatan dengan masa menjabat, misalanya adalah Sekretaris Daerah atau Pimpinan Jabatan Tinggi lainnya.

Sedangkan masa jabatan adalah periode waktu menjabat yang diberikan kepada pemangku jabatan dengan jangka waktu tertentu yang bersifat tetap untuk menjalankan fungsi jabatannya. Pemegang jabatn tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatan, kecuali pejabatnya berhenti atau diberhentikan. Pejabat yang ditentukan masa jabatannya, misalnya Presiden dan Wakil Presiden, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Masa Menjabat Sekda

Setelah mengetahui perbedaan antara masa menjabat dan masa jabatan, selanjutnya mengulik akar masalah yang terjadi mengenai “Evaluasi Kinerja” Sekda yang dilakukan oleh Bukide sewaktu menjabat Pelaksana Tugas Bupati Buteng, Kala itu, Bukide  sekaligus menjabat sebagai Sekda. Dari sinilah, Azhari kemudian mengolah dalil pembenaran atas keputusannya mengganti Bukide, tidak mengakuinya, lalu memilih tidak memperpanjang masa menjabat Bukide.

Keputusan yang diambil Azhari dapatlah dibenarkan, dapat juga disalahkan. Mengapa dibenarkan?
Pertama, Azhari memiliki kewenangan mengambil keputusan tidak memperpanjang masa menjabat Bukide sebagai Sekda atas dasar ketentuan (a) Pasal 117 ayat (2) UU ASN yang berbunyi “Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang berdasarkan pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan Pejabat Pembina Kepegawaian dan berkoordinasi dengan KASN”. (b) Pasal 11 ayat (2) PP No. 11/2017 yang menyatakan “JPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang berdasarkan pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi, dan berdasarkan kebutuhan instansi setelah mendapat persetujuan PPK dan berkoordinasi dengan Komisi Aparatur Sipil Negara”. Azhari memilih tidak memperpanjang karena dalam norma dari dua pasal di atas terdapat kata “dapat” yang mengandung makna bahwa pembentuk peraturan memberikan pilihan kepada kepala daerah.

Kedua, hasil Evaluasi Kinerja terhadap Sekda yang dilakukan oleh Tim Evaluasi Kinerja yang dibentuk oleh Penjabat Bupati Bukide kala itu baru sekadar/bertaraf produk administrasi. Produknya belum dikonversi atau terkonversi menjadi produk hukum berupa keputusan. Dengan begitu, pengenyampingan terhadap hasil dari proses Evaluasi Kinerja Sekda yang dilakukan oleh Azhari dapat dibenarkan, karena belum memiliki kekuatan mengikat secara hukum.

Sebaliknya, keputusan Azhari yang tidak memperpanjang masa menjabat Bukide juga mengandung kesalahan sebagai berikut:
Pertama, keputusan Penjabat Bupati Bukide untuk melaksanakan Evaluasi Kinerja terhadap Sekda yang juga dijabat Bukide dalam waktu yang bersamaan merupakan tindakan yang benar mengingat masa menjabat Bukide sebagai Sekda akan segera berakhir. Apabila tidak dilakukan Evaluasi Kinerja sebagai syarat perpanjangan masa menjabat Sekda dapat berimplikasi terhadap jabatan Bukide tidak sah lagi sebagai Sekda sekaligus menggugurkan keabsahannya sebagai sebagai Penjabat Bupati Buteng. Maka dari itu, langkah antisipatif yang diambil oleh Penjabat Bupati Bukide sangat tepat dan sesuai dengan ketentuan dalam UU ASN dan PP tentang Manajemen ASN.

Kedua, keputusan Azhari tidak memperpanjang Bukide sebagai Sekda nampaknya lebih menonjol warna politisnya ketimbang hukumnya. Hal ini dapat dilihat dari tindakan Azhari yang tidak membentuk Tim Evaluasi Kinerja Sekda, lebih memilih menunjuk Pelaksana Harian Sekda. Cara pergantian seperti ini berkonotasi politis, tidak menjadikan hukum sebagai landasan pengambilan keputusan. Padahal masalahnya sangatlah sederhana, dengan cara mendudukan kembali Bukide sebagai Sekda, diikuti dengan tindakan membentuk Tim Evaluasi Kinerja Sekda. Prosedur seperti ini berlandas hukum dan kesannya sangat demokratis.

Ketiga, keputusan yang diambil Bukide sewaktu menjabat sebagai Penjabat Bupati membentuk Tim Evaluasi Kinerja guna melakukan evaluasi kinerja Bukide sebagai Sekda merupakan keputusan yang sah dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik serta tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang. Sebab, harus dibedakan kualitas tindakan sebagai Penjabat Bupati dan kualitas tindakan sebagai Sekda kendati dijabat oleh pribadi jabatan/orang yang sama. Koteks demikian tidak boleh dianggap bahwa Bukide menilai dirinya sendiri, karena Bukide tidak ikut serta sebagai anggota Tim Evaluasi Kinerja. Jadi, produk adminsitrasi yang dihasilkan harus dianggap sah karena memenuhi syarat dan prosedur yang ditentukan dalam UU ASN dan peraturan turunannya.

Dengan mendasarkan penjelasan di atas, perseteruan antara Azhari dan Konstantinus Bukide perlu ditemukan solusinya agar perseteruan kedua pejabat ini setidaknya menemukan titik terang dan tidak tercatat sebagai noda hitam dalam sejarah pemerintahan Buton Tengah. Gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah seharusnya mengambil sikap dan tindakan yang sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jika mendudukan persoalan pemecatan Bukide dengan alasan masa menjabatnya tidak lagi diperpanjang disikapi secara politis maka berbenturan dengan hukum. Pertimbangan hukum dikedepankan agar tindakan senantiasa mencerminkan hukum. Janganlah menggunakan ayat-ayat hukum yang menguntungkan saja tetapi yang tidak menguntungkan tidak dipakai demi mencapai tujuan.

Penulis: Pengajar Hukum Tata Negara Unidayan Baubau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!