Kabaena, Infobombana.id – Pulau Kabaena di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, dahulu dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan maritim di jazirah Sulawesi. Pulau ini menyimpan banyak peninggalan sejarah dan budaya, mulai dari benteng tua peninggalan leluhur, watusangia (batu sakral), hingga tradisi musik ore-ore yang menjadi identitas masyarakat lokal. Namun, dalam dua dekade terakhir, wajah Kabaena berubah drastis.
Sejak awal tahun 2000-an, pulau ini menjadi sasaran industri pertambangan nikel. Data dari Kementerian ESDM mencatat bahwa terdapat lebih dari 50 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang pernah dikeluarkan di wilayah Bombana, sebagian besar beroperasi di Kabaena. Aktivitas pertambangan yang massif ini memicu kerusakan lingkungan yang serius: hutan-hutan gundul, air sungai yang keruh dan tercemar, pesisir laut dipenuhi lumpur tambang, hingga abrasi tanah yang merusak lahan warga.
Tetapi kerusakan ini bukan hanya soal ekologi. Yang lebih mengkhawatirkan adalah tercabutnya akar budaya masyarakat, terutama pada generasi muda. Generasi muda Kabaena kini hidup dalam ruang yang penuh kontradiksi. Mereka tumbuh dengan cerita leluhur tentang pentingnya menjaga tanah, laut, dan gunung sebagai warisan sakral. Namun, di depan mata mereka, tambang hadir sebagai “pemberi kehidupan instan” memberikan lapangan pekerjaan dan jalan cepat memperoleh uang. Situasi ini menimbulkan krisis identitas budaya: Gunung, mata air, dan batu keramat yang dulunya dijaga dengan ritual adat kini digusur atau rusak akibat aktivitas tambang. Generasi muda kehilangan tempat untuk belajar nilai-nilai spiritual leluhur. Musik ore-ore, cerita rakyat, dan upacara adat semakin jarang dilakukan. Tanpa ruang sosial yang mendukung, transmisi budaya dari orang tua ke anak mulai terhenti. Alam yang dulunya dipandang sebagai pusaka kini hanya dianggap sebagai komoditas ekonomi. Generasi muda mulai melihat tambang bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang hidup.
Inilah titik rawan yang berbahaya. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya tanah dan laut, tetapi juga jati diri sebuah generasi.
Hasil ekspedisi lapangan yang dilakukan oleh IMPIB Makassar menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam cara generasi muda menilai warisan budayanya. Beberapa temuan penting di antaranya:
- Penurunan partisipasi generasi muda dalam ritual adat. Jika pada 20 tahun lalu hampir setiap pemuda terlibat dalam upacara penghormatan watusangia atau benteng tua, kini jumlahnya menyusut drastis, hanya segelintir saja yang masih ikut serta.
- Hilangnya ruang belajar budaya. Banyak lokasi ritual dan situs bersejarah rusak akibat tambang. Generasi muda kehilangan “sekolah alam” tempat mereka dulu diajarkan kisah-kisah leluhur.
- Meningkatnya ketergantungan pada tambang. Survei kecil yang dilakukan TIM EKSPEDISI terhadap kelompok pemuda di beberapa desa menunjukkan anak muda memilih bekerja di sektor tambang dibanding melanjutkan pendidikan atau terlibat dalam pelestarian budaya.
Krisis identitas ini menciptakan generasi yang gamang. Mereka tidak lagi teguh memandang dirinya sebagai pewaris budaya sakral, tetapi juga tidak sepenuhnya menemukan jati diri dalam dunia industri tambang. Yang muncul adalah generasi yang tercerabut dari akar tradisinya, hidup dalam alienasi, dan terjebak dalam pusaran pragmatisme ekonomi.
“Jika kondisi ini terus dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan hutan dan laut, tetapi juga kehilangan jiwa Kabaena itu sendiri, yakni anak-anak muda yang seharusnya menjadi penjaga warisan leluhur.Masyarakat luas perlu sadar bahwa pertambangan bukan hanya merusak alam, tetapi juga menghancurkan ingatan kolektif sebuah bangsa. Di Kabaena, yang hilang bukan hanya pohon dan tanah, melainkan juga cerita, ritual, dan nilai-nilai yang membentuk identitas sosial”ucap Mulkian pawra salah satu anggota ekspedisi.
Untuk itu, perlu ada langkah serius berupa Revitalisasi budaya lokal melalui pendidikan adat dan kegiatan seni tradisi,Perlindungan kawasan sakral agar generasi muda tetap punya ruang belajar budaya,Pendidikan kritis yang menanamkan kesadaran bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh mengorbankan identitas budaya.
Rilisan ini merupakan bagian dari rangkaian Ekspedisi Suara Sunyi yang digagas oleh IMPIB Makassar. Sebagai organisasi mahasiswa, IMPIB Makassar berkomitmen membuka kesadaran publik mengenai dampak tambang terhadap alam dan budaya Pulau Kabaena, serta memperjuangkan keseimbangan antara ekonomi, ekologi, dan budaya.