BeritaSosial

Lembaga Tak Diakui Bekukan Status Pauno Rumbia VII, Ini Jawabannya

×

Lembaga Tak Diakui Bekukan Status Pauno Rumbia VII, Ini Jawabannya

Sebarkan artikel ini

Rumbia, Infobombana.id – Polemik internal Kerajaan Adat Moronene Keuwia Rumbia kian memanas. Setelah forum musyawarah adat pada 18 Mei 2025 lalu memunculkan kontroversi, agenda serupa kembali digelar pada Minggu, 1 Juni 2025 di Rumah Adat Moronene Keuwia di Taubonto, Bombana. Topiknya lebih tajam, yaitu pembekuan jabatan Pauno Rumbia ke-VII, PYM. Apua Mokole Alfian Pimpie, sebagai Raja Moronene Keuwia (Rumbia Rarowatu).

Namun ironisnya, lembaga penyelenggara kegiatan tersebut ialah Lembaga Adat Moronene (LAM) yang diketuai Yunus, N.L, ternyata sudah tidak lagi diakui secara hukum maupun adat. Verifikasi langsung ke Istana Kerajaan menunjukkan bahwa LAM telah didemisioner sejak tahun 2017, menyusul terbentuknya Lembaga Adat Kerajaan Moronene (LAKM) Keuwia Rumbia yang berbadan hukum dan terdaftar di Kesbangpol Bombana.

Pernyataan keras datang dari Sesepuh Kerajaan Moronene Keuwia Rumbia, PYM. Mokole Agustinus Powatu. Ia menegaskan bahwa jabatan raja tidak bisa begitu saja dicabut karena kedudukannya ditentukan berdasarkan garis keturunan lurus.

“Mengenai pemaksulan seorang Raja di lingkup Kerajaan Moronene, itu memang tidak pernah terjadi, dan belum pernah terjadi. Nah oleh sebab itu, di dalam lembaga Adat Kerajaan Moronene, secara spesifik tidak mencantumkan tentang masalah pemaksulan atau penonaktifan seorang Raja,” tegas Mokole Agustinus Powatu saat ditemui awak media, Minggu malam (1/6/2025), bersama para tokoh kerajaan lainnya.

Ia menyebut bahwa lembaga adatlah yang berwenang penuh dalam urusan adat, termasuk soal suksesi dan pengguguran jabatan raja. Sehingga menurutnya, pertemuan Minggu kemarin yang berujung pada rekomendasi pembekuan jabatan Raja tidak memiliki dasar hukum adat.

“Olehnya itu, gagasan atau hasil pertemuan dari siapapun, yang mencoba, atau yang mengingini terjadinya pemaksulan, maka itu secara kelembagaan tidak dibenarkan dan tidak sah. Oleh karena, pemaksulan itu hanya ada pada ranah lembaga adat. Karena berbicara masalah adat, pertemuan yang mereka gagas itu adalah konten adat, tetapi tanpa sepengetahuan lembaga adat,” ujarnya.

Lebih jauh, Mokole Agustinus menjelaskan bahwa pergantian raja hanya bisa dilakukan dalam tiga kondisi: jika raja telah wafat, jika raja melakukan tindakan asusila, atau jika raja mengundurkan diri secara sah menurut adat.

“Mengundurkan diripun ini ada adat. Tidak harus dipilih atau ditentukan oleh kehendak sekelompok orang atau sekelompok masyarakat. Tetapi dalam adat istiadat orang Moronene bahwa raja yang sudah tidak mampu melaksanakan kepemimpinannya, berarti tetap harus dari turunan langsung Raja. Bukan melalui pemilihan atau penunjukan. Karena jabatan Raja bukan jabatan politik,” terangnya.

Terkait absennya Raja Apua Mokole Alfian Pimpie dalam musyawarah di Taubonto juga mendapat penjelasan dari pihak kerajaan. Menurut Mokole Agustinus, selain lembaga penyelenggara kegiatan tersebut tidak sah, kehadiran seorang raja dalam forum adat tidak bisa disamakan dengan kepala organisasi atau pejabat politik.

“Pasalnya, ada beberapa rangkaian adat yang harus dilalui, dan telah didudukkan oleh semua sesepuh serta unsur penting lainnya dalam kerajaan itu sendiri,” ucapnya.

Sementara itu, Ramsi Salo, salah seorang warga Moronene yang mengikuti musyawarah sejak 18 Mei hingga 1 Juni, menyampaikan kekecewaannya. Ia menilai forum yang mengklaim mengatasnamakan lembaga adat justru kerap menyerang figur raja secara sepihak.

“Pa PYM. Apua Mokole Alfian Pimpie itu adalah simbolnya kita semua. Khususnya kita orang Moronene. Tapi mereka tidak paham. Selalu merongrong Pa Raja. Malunya Pa Raja kan malunya kita semua (Moronene),” ujarnya.

Dalam pertemuan Minggu (1/6/2024) tersebut, forum yang dipimpin Yunus, N.L menghasilkan empat poin keputusan, salah satunya menyerukan pembentukan Dewan Adat Kerajaan Moronene Keuwia yang terdiri dari perwakilan rumpun keluarga kerajaan. Dewan itu ditugaskan mempersiapkan mekanisme kerajaan, pemetaan wilayah adat, serta pemilihan dan pelantikan Raja Moronene Rumbia pengganti Alfian Pimpie.

Menanggapi hal tersebut, inisiator Musyawarah Adat Moronene Rumpun Keuwia, Muh. Mardhan, menyampaikan tanggapan keras terhadap kritik yang datang dari tokoh adat dan sesepuh kerajaan.

“Terserah Pabitara kalau mau berkomentar itu haknya dia. Termasuk kalau beliau mau mengarang cerita soal Raja yang katanya sama sekali tidak bisa diganti, itu urusannya. Jika dia tetap mengakui Rajanya, dia saja sendiri saja..” tegasnya

Ia juga menegaskan bahwa dirinya memiliki garis darah langsung dari keluarga kerajaan.

“Saya juga ini Mokole, nenek moyangku pernah jadi Raja (Sangia Niwehi, Raja Moronene Rumbia I) jadi saya tahu soal itu. Bahwa lazimnya memang Raja itu diwariskan ke keturunan langsung atau keluarga terdekat, tapi jika terdapat hal-hal tertentu bukan tidak mungkin Trah Raja diputuskan diambil dari keturunan Mokole lainnya. Dan apa yang saya katakan ini secara historis pernah terjadi sekitar 400 tahun yang lalu, yakni pada masa peralihan Kerajaan Pusat Lakomea ke Taubonto sekitar Abad 17,” tandasnya.

Muh. Mardhan pun mempertanyakan kredibilitas para pihak yang menolak hasil musyawarah adat yang mereka inisiasi.

“Adapun mengenai orang-orang yang mengaku tokoh masyarakat atau tokoh adat Moronene itu yang berkomentar miring soal hasil putusan musyawarah adat kemarin.. Coba tanyakan di mana letak ketokohannya itu orang, dari mana nenek moyangnya, tanyakan pula di mana dia berada dan sebagai apa kapasitasnya pada saat pemilihan Raja ke-6 dan ke-7? Tidak ada!” cetus Mardhan

Dengan polemik yang belum menemukan titik temu, dinamika internal Kerajaan Moronene Keuwia Rumbia tampaknya masih akan terus bergulir. Dua kutub pandangan, antara lembaga adat yang sah dan forum musyawarah inisiatif kelompok tertentu, masih bersikukuh dengan tafsirnya masing-masing atas sejarah dan struktur adat Moronene.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *