
Rumbia, Infobombana.id – Ada satu karikatur kecil yang selalu terbersit di benak saya, tiap kali mengingat Pulau Kabaena. Kawan saya, Arham Rasyid menggambarnya untuk rubrik “Inggomiu”, kala kami masih sama-sama bekerja di sebuah koran di Kendari. Gambar itu mengilustrasikan, seseorang yang menyelam di dasar laut lalu menancapkan plang kayu bertulis “Di sini pernah ada Pulau Kabaena”. Gambar itu ia buat, ketika kabar soal tambang masuk Kabaena mulai terdengar. Jika tak salah, itu 10 tahun silam.
Sindiran tokoh kartun bernama “La Bio” itu perlahan terlihat mendekati kenyataan. Pulau mungil seluas 837 km2 yang diapit daratan utama Sulawesi Tenggara, Pulau Muna, dan laut Banda di Selatan itu kini sudah dikepung izin pertambangan. 75 persen luas tanah pulau itu kini sudah dikapling pemodal nikel. Ada 25 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel tercantum pada Portal Data Perusahaan di Minerba One Data Indonesia (MODI), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Hadirnya tambang, meski diakui memberi dampak ekonomi yang baik bagi sebagian warga, tapi bahaya ekologisnya jauh lebih mengerikan. Ekosistem tiba-tiba berubah, udara tak lagi sesejuk dulu. Hewan-hewan buas mulai sering masuk perkampungan, mengganggu tenak warga, teras rumah tak pernah lagi bersih karena debu yang dibawa angin dari lokasi tambang.
Telah tiga nyawa anak-anak di Desa Baliara yang hilang karena terjatuh di laut yang sudah tercemar lumpur dari yang mengalir dari areal pertambangan. Mereka gagal diselamatkan karena pandangan mata ditutupi lapisan air kuning pekat. Silakan bayangkan saja, bagaiamana wajah Pulau Kabaena 20 tahun dari sekarang, jika perut buminya terus menerus dikeruk. Bisa jadi, apa yang diprediksi La Bio, benar-benar bakal terjadi. Kabaena hilang dari peta bumi.
Itu satu problem, yang entah kapan bisa selesai. Problem lain yang tak kalah memiriskan hati adalah makin akrabnya anak-anak muda di Pulau Kabaena dengan Narkoba, jenis shabu. Kabaena seolah jadi pasar gelap peredaran narkotika yang jadi favorit para pengedar. Serbuk terlarang itu, entah sejak kapan dan dipasok dari mana, tiba-tiba terlalu sering muncul di media massa. Polisi menangkap pemakai dan pengedarnya. Pelakunya, rata-rata masih sangat muda bahkan ada yang dibawah umur.
Mari bicara data. Oktober 2024 lalu misalnya, tiga anak muda yang usianya bahkan ada yang masih 17 tahun ditangkap. Satu orang ketahuan bawa Sabu di kapal, saat menyeberag dari Kasipute dan bersandar di Pelabuhan Sikeli. Dua kawannya di bekuk di Lengora, Kabaena Tengah. 5,30 gram nakoboy jadi barang bukti. Vonis sudah mereka terima, dan kini tengah menjalani hukuman.
Setelahnya, di Maret 2025. Dua pria yang belakangan diketahui warga Kabaena Barat ditangkap. Usia mereka 22 tahun. Barang buktinya, 39,82 gram butir kristal bening haram. Di Bulan Mei, lebih parah. Kali ini enam orang, dari Kabaena Timur. Mereka tertangkap setelah berpesta Narkoba. Paling anyar, 23 Juni. Kali ini di Kabaena Barat Tiga tersangka termasuk sabu seberat 9,28 gram jadi barang bukti.
Ini berarti, dalam enam bulan terakhir saja, sudah belasan orang yang ketahuan berurusan dengan serbuk setan itu. Itu yang terdeteksi, karena sangat mungkin, jauh lebih banyak yang beredar tapi tanpa terlacak aparat. Kabar berembus, kawasan-kawasan pertambangan jadi target. Karyawan mengasup barang terlarang itu demi meningkatkan produktifitas.
Ratusan orang dengan KTP luar Pulau Kabaena kini ada di daerah itu. Mereka bekerja di sektor pertambangan. Mobilitasnya tinggi, dan bisa masuk dari pintu mana saja. Arus transportasi laut begitu terbuka. Kabaena kini bisa terhubung dengan Sulawesi Selatan, tepatnya di Bira, Bulukumba seiring dengan lancarnya fery yang tiap pekan bolak-balik mengangkut penumpang dengan rute, Bira-Sikeli-Kasipute. Narkoba bisa masuk lewat jalur ini.
Kabaena juga dekat dengan Buton Tengah. Dari Mawasangka, ke Dongkala di Kabaena Timur hanya butuh waktu 2 jam dengan fery. Belum moda transportasi lainnya. Dari Baubau juga demikian, nyaris tiap hari ada kapal yang mengangkut orang dan barang. Semua berpotensi mendistribusikan Narkoboy di jalur ini.
Tahun 2025 ini, ada lagi satu armada kapal perintis yang melintasi Kabaena dengan rute yang lebih jauh. Namanya Kapal Barombong. Ia dari Wakatobi, Baubau lalu mampir ke Sikeli di Kabaena, bergerak ke Pomalaa di Kolaka terus ke Bulukumba lalu kembali lagi mengikuti rute semula. Entah berapa manusia yang naik dan turun di Sikeli, dari daerah daerah tersebut.
Itu belum termasuk dengan lintasan penyeberangan fery dari Kasipute-Pising, dua kali dalam sepekan. Ada pula kapal cepat berbahan fiber yang tiap hari melintasi jalur Sikeli-Kasipute, plus ada kapal kayu di malam hari. Semua itu, menunjukan betapa mobilitas manusia di Pulau Kabaena sudah sangat tinggi dan memberi ruang yang tak kecil bagi massifnya peredaran narkoba.
“Itulah kenapa, kita butuh Polres ada di Kabaena. Tapi, kalau Polres kan harus jadi kabupaten dulu,” kata Iskandar, Ketua DPRD Bombana saat kami sempat bertemu dan menikmati kopi di sebuah coffe shop di Kendari, tiga pekan lalu. Meski mungkin terdengar bercanda, tapi memang masuk akal. Sebelum pulau yang lingkungannya telah terdegradasi karena tambang, dan anak-anak mudanya makin banyak yang jadi pemakai, ini harus diurus. Serius.
Pulau Kabaena itu luasnya 800 an kilometer persegi. Ada 33 desa dan enam kecamatan. Penduduknya lebih dari 30 ribu jiwa. Mobilitas manusia yang datang dan pergi sangat tinggi. Tapi personal polisinya sangat terbatas, karena masih setingkat Polsek. Jarak tiap wilayah relatif tak terjangkau oleh semua anggota korps Bhayangkara yang mungkin tak sampai 40 orang. Belum lagi-maaf-kompetensinya di bidang pengungkapan Narkoba pasti sangat terbatas. Bisa jadi, tidak semuanya diberi ilmu khusus soal hal semacam ini.
Mimpi mekar dan menjadi daerah otonom, yang didengungkan belakangan ini, jangan dianggap hanya sekadar nafsu berkuasa saja. Tapi ada banyak persoalan di pulau itu yang memang butuh menanganan dengan otoritas yang lebih besar. Jika ada Polres, hampir bisa dipastikan akan ada penambahan personil dengan kualitas yang lebih tinggi. Bakal ada satu satuan yang memang khusus mengurusi Narkoba.
Saat ini, aparat di Kabaena mengurusi semuanya. Ada pembacokan, pencurian, selisih antar warga, kriminalitas jalanan, perkelahian pemuda, personilnya hanya itu yang berbagi tugas. Belum jika ada yang libur atau cuti. Makanya jangan heran jika di Kabaena, jarang sekali-bahkan tak ada-razia lalu lintas. Alasannya, karena tidak ada Satlantas di Polsek. Melintas di depan Mapolsek tanpa helm pun, aman-aman saja…!
Makanya, segera harus ada Satnarkoba di Pulau Kabaena, dan itu harus dibawah kendali Mapolres Kabupaten Kepulauan Kabaena.
Penulis: Abdi Mahatma Rioda (AMR)